Thursday, July 30, 2009

Agama dan Ekonomi

Agama adalah aturan untuk mendapatkan kebaikan atau seorang menjadi mulia dan juga menjadikan manusia beradab. Agama in tela ada sejak awal sejarah permulaan umat manusia dimuka bumi ini, baik dari agama wahyu ataupun dari adat istiadat / aturan suatu masyarakat yag disebut religi. Setiap orang pasti memeluk sutu agama dan tidak mungkin seorang manusia pun tidak mempunyai agama dan tidak memeluk agama.setiap agama pasti membawa ajaran dan agamanya tersebut dapat mempengaruhi dalam kehidupan. Ajaran dari agama itu adalah ibadah yang harus dilakukan oleh setiap pemeluknya, ibadah ini bukan hanya bersipat mahdah saja,tetapi berusaha mendapatkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu ibadah ghair mahdah.
Hal ini sesuai dengan perintah agama, berdagang adalah merupakan kegiatan ekonomi. Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi seorang Rasul beliau bekerja sebagai seorang pedagang. Menurut beliau modal utama dalam berdagang adalah kejujuran. Kejujuran adalah sebuah prilaku yang dianjurkan oleh ajaran agama dalam mempertinggi kualitas hidup manusia terhadap manusia lagi.
Keshalehan dibalik semangat berdagang
Keshalehan merupakan tingkatan yang sangat mulia dalam ajaran agama islam. Karena dengan keshalehan orang dapat mentaati apa yang dianjurkan oleh ajaran agama seperti dalam bekerja keras. Dalam agama Islam bekerja keras itu sangat dianjurkan seperti apa yang telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam membahas tentang bekerja keras dapat dilihat dari studi kasus yang terjadi pada sesorang yakni tepatnya di suryalaya Tasikmalaya. Ada sebuah syair yang selalu diucapkan dalam mengawali suatu pekerjaan yang ia lakukan:
Ya Allah Ya Rabbi
Berilah saya untung yang lebih
Agar bisa
Pergi kehaji
Ziarah kekuburan Nabi
(syair lama Betawi)
syair itu merupakan suatu interpretasi kreatif mengenai hubungan antara ajaran-ajaran keagamaan dan tingkah laku ekonomi. Penjelasan syair itu adalah: untung yang lebih untuk menunjukan suatu aspek didunia perdagangan yang tidak bisa ditinggalkan. Sedang berziarah kekuburan Nabi merupakan suatu ekspresi cultural, atau lebih tepatnya disebut ekspresi tradisional, yang berasal dari ideology keagamaan. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan antara ajaran-ajaran keagamaan dan tingkah laku ekonomi dalam masyarakat suryalaya merupakan cara yang bersifat simbolis, seperti yang terlihat dari syair yang diatas.
Konsep kerja keras di Suryalaya
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya orang rela berbuat apa saja, tekanan ekonomilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan dirinya sendiri dengan tujuannya hanya satu, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya siapapun dan dimanapun. Karena dengan bekerja keras akan terlepas dari kesulitan hidup.
Kebutuhan materi amatlah penting dalam kehidupan, dan agamapun merupakan suatu kebutuhan yang sama pentingnya. Maka dalam hal ini perlu adanya keseimbangan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan tersebut. Orang Islam yang ideal bukanlah hanya bersembahyang saja, akan tetapi harus diimbangi dengan bekerja keras dan berdoa. Konsep kerja keras dalam pandangan masyarakat Suryalaya, diantaranya Haji Saptir mengatakan bahwa kerja keras adalah salah satu ajaran Islam. Menurutnya dalam ajaran Islam berisi semangat untuk bekerja keras seperti yang ada dalam gagasan orang Barat bahwa waktu adalah uang (time is money). Dalam hal ini dikatakan konsep bekerja keras adalah manifestasi terpenting dari ibadah. Menurut istilah Guntur kerja keras merupakan bagian dari ibadah sosial.
Gagasan mengenai Hemat di masyarakat Suryalaya
Mengenai konsep bagi masyarakat Suryalaya merupakan hal yang sangat penting agar suatu usaha tidak mengalami kebangkrutan. Dalam hal ini hemat bukan berati pelit atu kikir akan tetapi, menempatkan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan yang sangat diperlukan. Karena hemat adalah kunci dari kesuksesan, seperti pepatah mengatakan “hemat pangkal kaya dan boros pangkal miskin”. Dalam kehidupan penduduk Suryalaya banyak yang mengantungkan kehidupannya dengan berdagang dan hidup hemat.
Manisfetasi dari ideology keagamaan
Dalam masyarakat Suryalaya, seseorang yang dihargai dan dihormati yaitu seseorang yang sudah melaksanakan haji, Ustadt, dan Ulama orang-orang tersebut dipandang istimewa bagi pandangan masyarakat Suryalaya. Untuk mendapatkan gelar haji seseorang rela menjual harta kekayaannya guna melaksanakan ibadah haji.
Dalam masyarakat Suryalaya ini selain dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh prestasi moral, tetapi juga adanya keuntungan-keuntungan sosial ekonomi yang dinikmati oleh para haji. Misalnya saja dalam berdagang orang yang melaksanakan ibadah haji lebih dapat dipercaya daripada orang yang belum beribadah haji. Bagi orang yang suydah mampu melaksanakan ibadah haji mempunyai dua keuntungan diantaranya:
• Orang yang mampu melaksanakan ibadah haji terhapus dari perintah wajib atasnya
• Mendapatkan kehormatan dari Allah dan juga dari manusia.
Semangat Berdagang
Jika dilihat dari penjelasan sub judul diatas bahwa bekerja keras untuk memenuhi tuntutan hidup sangat dibutuhkan, karena tidak jarang sering terjadi persaingan antara yang satu dengan yang lainnya, guna memenuhi kebutuhan hidup sehar-hari.Sehingga bayak sekali orang-orang yang melakukan tindakan yang dilarang oleh Agama, seperti banyak terjadi pada saat ini, adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh orang- orang yang hanya ingin mementingkan kepentingan dirinya sendiri, sehingga mengabaikan kepentingan orang lain, dan mengakibatkan penderitaan bagi orang banyak.
Pembentuk Etos kerja
Dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia mengakibatkan terajadinya banyak pengangguran, karena berkurangnya lowongan pekerjaan.Belum lagi skil yang mereka miliki sangat minim, sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari harus dipenuhi, maka oleh sebab itu kita dituntut harus selalu bekerja keras, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Agama. Dalam hal ini Agama ikut andil dalam kehidupan manusi, karena agama bersifat sosial, dan mengajarkan cara berinteraksi dengan orang lain.Karena tindakan individu sangat berpengaruh dengan individu yang lain.

Keshalehan dan tingkah laku ekonomi, 1995, Yayasan Bentang Budaya, Muhammad Shobary

FILSAFAT ILMU

Pendahuluan
A. Latar belakang
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
BAB II
RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
1. Ilmu Sebagai Objek Kajian Filsafat
Ilmu pada dasarnya memiliki dua macam objek kajian, yaitu: objek material dan objek formal. Objek material adalah objek yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia yang menjadi objek material pada ilmu kedokteran, sedangkan objek formalnya merupakan suatu metode untuk memahami suatu objek material tersebut. Dalam hal ini filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal, yang memiliki objek material dan objek formal, yang menjadi objek material adalah segala sesuatu yang ada, mencakup sesuatu yang tampak dan yang tak tampak. Dalam hal ini sesuatu yang tampak melalui panca indra biasa disebut dengan “’ empiris”, sedangkan ada yang tidak tampak disebut dengan “alam metafisika”.
Objek formal itu sendiri tediri atas tiga bagian yaitu:
• yang ada dalam alam empiris
• yang ada dalam pikiran
• dan yang ada dalam kemungkinan
objek formal filsafat sudut pandangnya bersifat menyeluruh, radikal, dan rasional tentang adanya segala yang ada.
Kajian filsafat sangat luas dibandingkan dengan ilmu, itu dikarenakan ilmu hanya terbatas pada persoalan yang hanya berifat empiris, sedangkan kajian filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiri. Maka oleh sebab itu ilmu sangat bertekaitan dengan filsafat pada satu objek yaitu empiris. Secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang telah melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara sistematis, rasional,dan logis, termasuk pada hal yang empiris.
Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin berkembang dan bercabang, sehingga menimbulkan suatu spesialisasi yang menampakkan kegunaannya yang bersifat praktis. Seperti yang dikatakan oleh Will Durant,” beliau mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk melakukan pendaratan pasukan infanteri.” Yang dimaksud dengan infanteti adalah sebagai pengetahuan yang didalamnya mencakup ilmu, sehingga ilmu mengalami perkembangan yang sesuai dengan spesialisasi masing-masing, sehingga ilmu secara praktis dapat membelah gunung,dan merambah hutan, namun kemudian filsfat kembali kelaut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.
Oleh karena itu filsfat dikatakan sebagai induk ilmu, sebab dari filsafat inilah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya, yaitu teknologi, walaupun pada dasarnya filsafat terbagi pada teoritis dan praktis. Yang kemudian teoritis mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis adalah ekinomi, politik, hukum, dan etika.Sehingga kemudian bidang ilmu ini berkembang dan menspesialisasi, seperti adanya ilmu Fisika yang berkembang menjadi biologi, biologi berkembang menjadi anatomi, Kedokteran, dan ilmu kedokteran menjadi beberapa bagian. Perkembangan ini dapat diibaratkan sebuah pohon dengan cabang dan ranting yang semakin lama semakin rindang.
Filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu,akan tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Walaupun pada taraf peralihan filsafat tidak mencakup keseluruhan tetapi sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Tetapi juga berfungsi untuk mendorong munculnya arogansi bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan ilmu yang lain. Oleh sebab itu filsafat mengemban tugas di antaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antar berbagai kepentingan. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian vilsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.
Ilmu sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material tang didekati melalui pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Yang berifat spekulatif sehingga filsafat merupakan bagian dari ilmu karenanya jika ilmu dilihat pada posisi tang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.( Amsul, 2004, 1:3).
Dalam hal ini maka ilmu berasal dari penjelajahan manusia, dan berhenti pada batas pengalaman manusia, Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah alat pembantu manusia dalam menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Sedangkan objek ilmu itu sendiri terbatas pada pengalaman manusia, yang disebabkan pada metode-metode untuk menyusun suatu kabenaran secara empiris.
Secara metodelogis penjelajahan ilmu sangat terbatas, itu dikarenakan ilmu hanya berwenang dalam menentukan suatu kebenaran dan kesalahan, sehingga tidak dapat berpaling pada sumber-sumber moral, dan pada pengkajian estetika, sebab imu tanpa agama akan buta, demikian menurut Enstein( Jujun S. Suri asumantri,2003, 89:92).
Ilmu sangat berkembang sangat pesat, karena adanya hasrat yang begitu besar untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan adanya analisis secara cermat dan seksama, sehingga menyebabkan obyek forma (obyek ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Karena pada dasarnya ilmu berkembang berasal dari dua cabang utama, yakni filsafat alam dan kemudian berkembang menjadi rumpun-rumpun ilmu alam, (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam ilmu-ilmu sosial(the social science).
Ilmu-ilmu alam terbagi lagi menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological sciences). Dalam hal ini ilmu bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2003, 92:93).
Perjalanan ilmu dan filsafat pada zaman dahulu tepatnya pada abad ke-14, menjadi satu. Karena keduanya termasuk dalam pengertian episteme. Dalam artian philosophia merupakan suatu kata pedanan dari episteme. Namun menurut salah satu tokoh filosof mangatakan bahwa filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang bersifat rasional, hal ini dikarenakan ilmu dan filsafat termasuk pengetahuan yang berasal dari sebuah pemikiran atau rasio manusia. Yang dimana menurut pemikiran episteme hal tersebut mempunyai tiga pengertian yang biasa disebut :
• Praktike (pengetahuan praktis)
• Poietike (pengetahuan produktif)
• Theoretike (pengetahuan teoritis).
Dalam hal ini pembagaian Theoretike atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan menjadi tiga kelompok yang disebut:
1. Mathematike (pengetahuan matematika)
2. Physike (pengetahuan fisika)
3. Prote Philosophia (filsafat pertama)
Prote Philosophia ( filsafat pertama merupakan pengatahuan teoritis yang menelaah peradaban yang abadi, tidak berubah, dan terpisah dari materi. Dalam hal ini tokoh yang bernama Aristoteles mendefinisikannya sebagai” ilmu tentang asas-asas yang pertama), semua pengetahuan yang logis mengandaikan atau berdasrkan ilmu,. Maka oleh karena itu dianggap sebagai filsafat pertama. Maka dengan demikian beliau melengkapi definisinya tersebut “ suatu ilmu yang menyelidiki peradaban sebagai peradaban dan cirri-ciri yang tergolong pada objek ini berdasarkan sifat dasarnya sendiri.
Kemudian Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula,sifat dasar, dan struktur komposisi dari alam semesta. Yang menurut beliau semuanya berasal darii air sebagi materi dasr kosmis. Karena sebagi ilmuan ia mempelajari magnetisme dan listrik yang merupakan pokok soal fisika. Ia juga berusaha mengembangkan astronomi dan matematika dengan mengemukakan pendapat “ bahwa bulan bersinar karena memantulkan sinar matahari.
Kemudian pada tahap berikutnya muncullah seorang tokoh yang bernama phthagoras. Beliau merupakan seorang tokoh matematika, yang mengemukakan sebuah ajaran metafisika. Bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalilinya berbunyi “ Number rules the universe”, (Bilangan memerintah jagad raya ini).
Menirut beliau kearifan yang bijak sana hanta dimiliki oleh satu titik yaitu Tuhan, oleh sebaba itu beliau tidak mau disebut sebagai orang arif, melainkan menganggap dirirnya hanya seorang philisopos, yaitu orang yang mencintai kearifan ( The liang gie, 1991, 3:5).
2. Pengertian filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999).
filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan arti fisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Selain itu pengertian filsafat terdiri dari babarapa pengertian, antara lain:
1. Filsafat danHikmah
Dalam bahasa Inggris filsafat berasala dari kata “philosophy”, ada pun istilah dari bahas Yunani “philosophia”, yang terdiri dari dua kata philos (cinta) atau philia(pershabatan, tertarik kepada), dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Adi secara etimologi, filasafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Dan seseorang filosof yang dalam bahasa Arab disebut Failasuf.
Menurut Haru Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafa dengan wazan (timbangan) fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian , menurut harun nasution, kata benda dari falsafa seharusny falsafah dan filsaf, menurut beliau filsafat berasal dari penggabungan dua kata yaiyu kata fil dari bahasa Inggris dan safah dari bahasa Arab, sehingga terjadilah kata filsafat.
Kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud pengetahuandan penyelidikandengan akal budi dengan mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal, dan hukumnya.
Dalam hal ini ada beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof antara lain:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta langkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkaun pengetahuan : sumbernya, hakekatnyan, keabsahannya dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernmyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan apa yang anda lihat.
Sedangkan pengertian filsafat secara terminology sangat bermacam-macam, baik dalam ungkapan maupun titik tekanannya. Bahkan menurut Moh Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa pengertian filsafat tidak perlu diberikan, karena tiap orang memiliki titik tekan tersendiri dalam definisinya.
Disini dikemukakan beberapa definisi dari para filosof barat terkemuka yang mencakup reprensentatif, baik dari segi zaman maupun kualitas pemikiran.
1. Pythagoras (572-497 SM) adalah filosof yang pertama kali menggunakan kata filsafat, dia mengemukakan bahwa manusia dapat di bagi kedalam tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan kebijksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan. Shopia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksana, yaitu: 1.) kerajinan, 2.) kebenaran pertama, 3.) pengetahuan yang luas, 4.) kebajikan intelektual, 5.) pertimbangan yang sehat, 6.) kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).
2. Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa objek filsafat adalah penemuan kenyataan atau kebenaran absolut (keduanya sama dalam pandangannya), lewat “dialektika”. Sementara Aristoteles (384-332 SM), tokoh utama filosof klasik, mengatakan bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari wujud. Karena itu, ia menanamkan filsafat dengan “teologi” atau “filsafat pertama”. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di dalam ini digerakan oleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian, Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah Aktus Murni. Dan ia adalahsang seorang filosof Yunani Kuno yang menyatakanbahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontology).
3. Immanuel Kant ( 1724-1804), beliau mengatakan bahwa filsafat ilmu merupakan dasar segala pengetahuan, yang didalamnya mencakup persoalan seperti berikut:
1. Apakah yang dapat diketahui ? yang kemudian dijawab oleh metafisika
2. Apaka yang boleh kita kerjakan? Dapat dijawab oleh etika atau moral
3. Sampai dimanakah harapan kita? Kemudian dijawab oleh agama
4. apakah yang dinamakan manusi? Kemudian dapat dijawab oleh antropologi, (Amsal Bakhtiar, 2004, 4:8).
5.Robert Ackermann.
Menurut beliau filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka yang telah dikenbangkan dari pendapat-pendapat demikian itu filsafat ilmu demikian jelas bukan satu cabang ilu yang bebas dari praktek ilmiah semata.
6.Peter Caws
Filsafat ilmu merupakan sesuatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu yang berbuat bagi ilmu apa yang fisafat umumnya melakukan pada seluh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal, yaitu:
Disatu pihak dia membangun tiori-tiori tentang manusia dan alaam semesta dan menyajikannya sebagai keyakinan serta tindakan-tidakan.
6. Antony Flew
Menrut beliau Filsafat ilmu berusaha menunjukkan dimana letak rasionalitas, apa yang khusus dari penjelasa-penjalasan dari ilmu empiris. Dan konstruksi-konstruksi teorinya. Dan yang terpenting adalah apakah teri-teorinya dapay diterima untuk mengugkapkan kebenaran suatu realitas objektif yang tersembunyi.
Maka dalam hal ini filsafat ilmu merupakan seganap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia ( The Liang Gie, 1991, 57:59).
2. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, alima, ya’lamu, ilman. Yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan menurut pengertian dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistem menurut metode-metode tertentu, guna menerangkan gajala-gajala tertentu tantang pengetahuan. Namun menurut Mulyadhi Kartanegara antara ilmu dan sains tidak berbeda, terutama pada abad ke-19. Namun setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau indrawi.
Ciri-ciri ilmu menurut terminologi antara lain:
1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
2. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu petusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek(atau alam objek) yang sama dan saling beterkaitan secara logis. Karena itu koherensi sitematik adalah hakekat ilmu. Prinsip-prinsip objek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prisip-prinsip metafisis objek menyingkap dirinya sendiri kepada kita kedalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh visi rohani terhadap realitas tetap oleh berpikir.
3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenanaan dengan masing-masing penalaran perseorangan, sebaba ilmu dapat memuat di dalam dirinya sendir hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
4. Dilain pihak, konsep ilmu adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbuktu pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu. Kendati demikian, rupanya baik untuk tidak memasukkan persyaratan ini dalam definisi ilmu, karena objektivitas ilmu dan kesamaan hakiki daya persyaratan ini pada umumnya terjamin.
5. Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodelogi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis , tertata rapi. Alat bantu metodelogis yang penting adalah terminologi ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.
6. Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Teori skolastik mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan objek formal. Yang terdahulu adalah objek kongkrit yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau sudut pandangan terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya. Sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain. Pandangan objek studi mengantar kepada spesialisasi ilmu yang terus bertambah. Gerakan ini diiringi bahaya pandangan sempit atas bidang penelitian yang terbatas. Sementara penangkapan yang luas terhadap saling katerkaitan seluruh realitas lenyap dari pandangan.
Adapun definisi ilmumenurut para ahli ilmu diantaranya:
• Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
• Ralph Ross dan Ernets Ven Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional umum, dan sistematik, dan keempatnya serentak.
• Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensip dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
• Ashley Montagu, Guru Basar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
• Harsojo, Guru Besar Antopolog di Universitas Pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalah:
- merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematik.
- Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.
• Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak hanya selalu berdasar pengalaman empiris karena realita itu tidak hanya berdasar empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris. Karena itu dia memasukkan teologi adalah ilmu, yang sama dengan ilmu-ilmu lainnya.
3. Persamaan dan perbadaan Filsafat ilmu
Persamaan Filsafat dan ilmu sebagai berikut:
1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjikkan sebab-sebabnya.
3. Keduanya memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Keduanya mempunyai metode dan system.
5. Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Adapun perbedaan filsafat dan ilmu sebagai berikut:
1. Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat Universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu(pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
2. Objek formal (sudut pandangan)filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Disamping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3. Filsafat ilmu dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulatif, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
4. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam realitas sehari-hari, sedang ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari yang tidak tahu menjadi tahu.
5. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir yang mutlak, dan sempai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang skunder (secondary cause).
Tokoh-tokoh filosof islam.
1. Al-Farabi (W. 950 M), seorang filosof Muslim terbesar sebelum ibnu Sina berkata, “Filsafat ialah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya”.
2. Ibnu Rusyid (1126-1198 M), berpendapat bahwafilsafat atau hikmah merupakan pengetahuan otonom bahwa yang perlu dikaji oleh nmanusia karena dia dikaruniai akal. Al-qur’an filsafat mewajibkan manusia berfilsafat unttuk menambah dan memperkuat keimanan kepada Tuhan.
3. Sutan Takdir Alisjahbana, menurut beliau filasafat adalah berfikir dengan insaf. Yang dimaksud dengan insaf disini adalah berpikir dengan teliti, menurut aturan yang pasti. Smentara itu ada seorang filosof yang berasal dar nunia timur yang bernama Deng fung Yu Lan, beliau mendefinisikan filsafat adalah pikiran yang sistematis dan refleksi tentang hidup.
4. Menurut pendapat Sidi Gazalba filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan unuversal, dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakekat mengenai segala sesuatu yang ada. Pendapat beliau ini dapat melahirkan adanya tiga ciri pokok filsafat, yaitu:
1. Adanya unsur berfikir yang dalam hal ini menggunakan akal.
2. Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berfikir tersebut
3. Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut, yaitu mendalam.
Uraian diatas menunjukkan dengan jelas ciri dan karakteristik berfikir sacara filosof. Intinya adalah upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran, sebagai alat utamanya untuk menemukan hakekat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu.
Telah disebut diatas bahwa salah satu makna filsafat adalah emngutamakan dan mencintai hikmah. Maka dalam hal ini seorang tokoh Islam yang bernama Ibn Sina mengatakan bahwa hikmah adalah “mencari kesempurnaan manusia dengan menggambarkan segala unsur dan membenarkan segala hakekat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.
Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan yang mempunyai tiga unsur utama, yaitu:
1)Masalah, 2) Fakta dan data,3) Analisis ilmuan dengan teori (Amsal Baktiar, 2004, 17:19).
Dalam hal ini seorang tokoh filosof mengatakan bahwa filsafat ilmu dapat mengambil sebuah mata rantai antara filsafat ilmu dan pengetahuan alam,
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam.
Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya (Burhanudin Salam, 2003, 50:53).
Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.
Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.
Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi definisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya. (Yuhaya S. Praja, 2000,47:50).
4. TUJUAN FILSAFAT ILMU
Tujuan filsafat ilmu adalah:
1. Untuk mendalami unsure-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakekat dan tujuan ilmu.
2. memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
3. untuk menjadi pedoman bagi para pengajar dan mahasiswa dalam mendalami studi perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah.
4. Mendorong pada calon ilmuan agar konsisten dalam mendalami ilmu dan pengembangannya.
5. mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan pengembangan ilmu khususnya ilmu pengetahuan alam karena kenyataannya, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan alam. Yang menyangku pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan yang ada pada filsafat ilmu. Disamping itu jika seorang yang mendalami ilmu filsafat maka akan menjadikan dirinya dapat mengetahuai hakakat kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA
• The Liang Gie, Pengantar filsafat ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1991.
• Jujun S. Suriassumantri,Filsafat ilmu sebuah pengantar Populer, Pustaka sinar harapan,Jakarta, 2003.
• Yahya S.Praja, Struktur filsafat ilmu dan ilmu-ilmu islam,Pustaka,Bandung, 1984.
• Burhanuddin salam,Filsafat ilmu, Rineka cipta,2003.
• Amsal Bhaktiar,Filsafat ilmu,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

AGAMA PRIMITIF

AGAMA PRIMITF

Asal Usul Agama Primitif
Pada dasarnya agama primitive mempunyai dua asal-usul yaitu :
1. suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yeng terbuktu dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.
2. agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, histories, dab psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena soaial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitive, kepada bentuk yang sempurna.
Istilah primitif dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak diliat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern. Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat.
Berdasarkan hal tersebut, belum ada kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun apabila pengertian primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard beliau menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya.
Apabila dilihat dari segi sudut pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai agama primitive, atau berawal dari praktek-praktek agama primiti, mungkiin agama ini derkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut.
Banyak kita jumpai sistem ritus, kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme, dan lain-lain yang dimana kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu jenis keagamaan, agama primitive sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme, kecuali orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim, sedangkan orang primitive tigak mengenal apakah dirinya animisme, dinamisme atau sebagainya.
Dalam hal ini manusia primitive adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunai isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.
Maka dengan adanya hal semacam ini timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti halnya upacara bersaji dimana bersaji ini merupakan suatu keyakinan dan sudah menjadi doktrin, karena kegiatan ini merupakan perwujudan dari agama. Yang memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat yang dijujukan pada Dewa melalui adanay korban binatang misalnya, yang dalam hal ini darahnya disajikan untuk para Dewa, sedangkan dagingnya untuk kita, seperti halnya yang terjadi pada kelompok masyarakat Bugis yang berada dikalimantan barat, yang dimana pada tiap tahunnya kelompok ini mengadakan upacara bersaji atau dalam kelompok ini disebut dengan “Makan-makan”, upacara makan-makan ini biasanya dilaksanakan didalam sebuah kelambu yang diadakan di atas tempat tidur orang yang melaksanakan upacara tersebut, dalamupacara ini disediakan alat-alat seperti beras kuning, beras putuh, telur ayam kampong yang mentah dan yang masak masing-masing satu buah.
Dalam pelaksanaan upacara ini setiap anak diusapkan minyak wangi dari telapak kaki sampai pada ubun-ubun, dan biasanya dilakukan oleh keluarga yang dianggap paling tua. Bisa kakek, ayah, atau kakak tertuan dalam keliarga tersebut, sedangkan waktunya biasa dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Guna menghindarkan diri atau keluarga dari gangguan setan atau Jin yang ada dalam keluarga tersebut, serta agar semua keluarga selalu berada dalam keselamatan, serta menjauhkan diri dari gangguan penunggu laut.
Biasanya upacara semacam ini wajib dilakukan pada tiap tahun, apa bila tidak melakukan hal tersebut maka dalam satu keluarga dan salah satu dari keluarga tersebut ada yang tidak sempurna kehidupannya. Baik dalam hal jodoh, rizki, ataupun nasibnya dalam menjalani hidup. Namun upacara atau adapt semacam ini dapat hilang atau tidak wajib lagi dilakukan apabila salah satu keturunan dari keluarga tersebut yaitu anaknya menikah bukan dengan oaring yang berketurunan bugis, maka ia keturunan berikutnya boleh melaksanakan boleh juga tidak. Namun sebelumnnya belau harus berjanji dulu untuk meninggalkan hal tersebut agar tidak dikucilkan oleh keluarga.
Dalam hal ini sangat bertentangan dengan ajaran islam karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah. Namun adapt-adat semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat primitif didaerah tersebut, walaupun mempunyai dampak positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Iani merupakan salah satu contoh dari sebagian masyarakat primitive yang masih mempertahankan upacara atau adapt tersebut pada zaman modern saat ini, dan walaupun mereka memeluk agama islam serta rajin beribadah.
Setelah melihat uraian diatas dapat dikatakan bahwa masyarakat primitive berpadangan bahwa dunia dan alam sektarnya bukanlah objek tetai sebagai subjek, lain halnya dengan masyarakat modern memandang dirinya sebagai subjek sedangkan alam sebagai objeknya. Akibat dari tidak bisanya membedakan antara subjek dan objek antara manusia dan alam sektarnya, akhirnya masyarakat primitive memandang sakrala terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan dan bencana, sebagai contoh apabila ada yang sakit mereka lebih mempercayai dukun dari pada dokter.
Selain itu keris pohon yang rindang mereka menganggap semua itu memiliki sesuatu yang sangat sacral sehingga perlu dipeliharan dan dihormati. Jika kita amati denda-benda tersebut menjadi sacral dikarenakan sikap manusi itu sendiri yang selalu menganggap benda itu sacral, dalam hal ini kehidupan manusia primitive dipanihi dengan upacara keagamaan. Oleh karena itu upacara-upacara keagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka, sepert pada saat membuka sawah, lading, perkawinan, serta perbuatan-perbuatan lainny. Dalam setiap upacara memiliki mite-nya tersendiri, yang mempunyai suatu naskah atau scenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam hidupnya.
Agama-agama primitif meskipun disana sini bersifat sinkretis, pada hakaekatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsure. Satu conto adalah beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh) tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsure-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa-sisa toteisme yang tak jelas dan sukar ditetapkan.

PERKEMBANGAN IPTEK DALAM RELIGI

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Agama yang merupakan sumber pedoman bagi umat manusia mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi penganutnya, dalam tinjauan sosiologis. Agama dapat memberikan motivasi bagi tindakan sosial suatu masyarakat tertentu. Banyak penelitian tentang sejumlah tindakan-tindakan sosial pada masyarakat yang didasarkan pada motif Agama. Dalam hal ini Agama menjadi alas an bagi seseorang untuk melakukan tindakan sosial.
Sungguh pun banyak tindakan sosial yang didasarkan atas motiv Agama akan tetapi terdapat tindakan sosial yang murni.Anggota masyarakat yang menolong korban tanah longsor disebuah Desa umpamanya, dapat diidentifikasikan sebagai tindakan sosial sebagai sesama masyarakat, namun juga dapat diidentifikasikan sebagai tindakan Agama karena masyarakat tersebut adalah masyarakat yang berAgama. Oleh karena itu pendenifisian bebagai tindakan Agama semakin sulit dilakukan apabila masyarakat tersebut bukan masyarakat Agama.
Max weber menyatakan bahwa tindakan sosial individu dalam masyarakat dapat mempengaruhi individu-individu yang lainnya, begitupun tentang tindakan sosial individu seseorang yang berkenana dengan Agama juga akan mempengaruhi individu yang lainnya, lalu tindakan apa yang akan dilakukan individu atau masyarakat tertentu yang termotivasi oleh Agama?
Ali Syariati seorang tokoh filsafat Islam menjelaskan bahwa Agama (Islam,penyusun) dapat memberikan Motivasi besar bagi penganutnya sehingga menorehkan tinta Emas dalam peradaban Islam khususnya, dan peradaban Dunia pada umumnya.
Dalam kehidupan ini agama dan iptek harus berjalan secara seimbang hal itu dikarenakan adanya kemajuan zaman yang menuntut manusia untuk terus bersaing baik dalam bidang ilmu maupun teknologi, orang yang tidak mau mengikuti perkembangan zaman maka ia akan merasa dikucilkan oleh kehidupan itu dikarenakan kemajuan teknologi yang sudah sangat berpengaruh pada kehidupan manusia baik itu pengaruh dari luar ataupun dari dalam Negeri sendiri hal itu tidak bisa dihindarkan lagi.
Maka dengan adanya kemajuan zaman seperti ini seseorang dituntut untuk dapat mempelajari agama secara mendalam agar tidak hanyut oleh kemajuan zaman yang semakin canggih yang mungkin suatu saat akan membuat seseorang lupakan segala perintah dan larangana agama, sesuai dengan pepatah “ilmu tanpa agama akan buta sadangkan ilmu tanpa agama akan lumpuh”, dalam hal ini antara agama dan iptek harus berjalana sebanding agar dari segi iptek dapat membuat manusia berkembang lebih maju sehingga mampu untuk bersaing dengan Negara luar, sedangkan dari sagi agama dapat membuat seseorang merasa terbimbing dalam melakukan setiap tindakan sehingga tidak hudah untuk berbuat sesuatu yang dapat merusak dan merampas hak orang lain.
Dari uraian diatas maka penyusun merasa perlu untuk menuangkan sebuah tulisan tentang judul”Dampak kemajuan iptek dalam religi”. Yang dimana kemajuan iptek sendiri sangat berpengaruh kepada agam yang dimana dalam hal ini agama dituntut agar bisa mununtun umat kedalam suatu tindakan yang benar, baik bagi agama maupun masyarakat, bukan menjadikan agama hanya sebagai sesuatu iakatan yang hanya bisa mengekang seseorang dalam melakukan setiap tindakan.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui paranan agama terhadap perkembangan iptek
2. untuk mengtahui dampak dari iptek terhadap masyarakat
3. bagaimana fungsi agama terhadap dunia modern saat ini
4. untuk mengetahui hubungan iptek dengan agama
5. untuk mengetahui dampak dari peranan agama terhadap iptek

BAB
II
DAMPAK KEMAJUAN IPTEK DALAM RELIGI

A. AGAMA

Hendro Puspito Dalam Buku nya Sosiologi Agama menyatakan bahwaAgama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh penganut-penganut yang berporos pada kekuatan-kekuatan Non-empiris yang dipercayainya dan diperdayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
Unsur-unsur yang hendak dirangkum dalam definisi diatas telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya.Untuk kongkritnya dapat disebut lagi dengan singkat sebagai berikut:
Agama disebut jenis system sosial, ini hendak menjelaskan bahwa Agama adalah suatu fenomena sosial, suatu pristiwa kemasyrakatan, suatu system sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tetentu.
Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa Agama itu khas berurusan dengan kekuatan dari dunia luar yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah roh-roh dan roh tertinggi.
Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan diatas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan ialah kelamatan didalam dunia sekarang ini dan keselamatan di dunia lain. Yang dimasuki manusia sesudah kematian (Yahya s. Praja, 2000, 41:45).
Thomas F. Odea
Thomas F.O Dea memakai memakai teori yang banyak dipakai oleh teori fungsional. Agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non empiris atau supra-empiris.
Dalam definisi tersebut di atas bahwa pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris semata-mata ditujukan kepada kepentingan supra empiris saja.seakan-akan orang yang berAgama hanya mementingkan kebahagian akhirat dan lupa akan kebutuhan mereka didunia sekarang ini. Hal itu tidak sesuai dengan pengalaman.Banyak orang berdo’a kepada Tuhan untuk keperluan sehari-hari yang dirasa tidak akan tercapai hanya dengan kekuatan manusia sendiri
Milton Yinger
o J.Milton Yinger melihat Agama sebagai system kepercayaan dengan praktek dengan suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Dulop punya pendirian yang senada. Ia melihat Agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana manusia berada pada instansi lainnya gagal tak berdaya. Maka ia merumuskan Agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada manusia untuk mana tidak tersedia suatu institusi atau yang penangananya tidak cukup dipersiapkan oleh lembaga lain.
Joachim Wach
Bagi Joachim Wach aspek yang khusus diperhatikan ialah pertama unsur teoritisnya, bahwa Agama adalah suatu system kepercayaan. Kedua, unsur praktisnya, ialah yang berupa system kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga, aspek sosiologisnya, bahwa Agama mempunyai hubungan dan interaksi sosial.pada hakekatya jika pada suatu unsur tidak terdapat maka orang tidak dapat berbicara tentang Agama, tetapi itu hanya kecendrungan religius.
Dalam hal ini dapat dipertanyakan apakah sejumlah “isme”yang sudah dikenal luas merupakan Agama,jelasnya nasionalisme, komunisme, sekularisme, kebatinan, akan ratu adil. Atas pertanyaan diatas sejumlah sarjana seperti Elisabeth Nothingham menjawab bahwa”isme-isme”diatas dapat dimasukkan dalam pengertian Agama, dengan catatan bahwa itu semua bukan Agama “supra-empiris”tetapi hanya Agama secular.
Nicolas Luhmann.
Menurut Nicolas Luhmannaspek yang perlu diperhatiakan dalam definisi Agama adalah saspek fungsianal. Ia melihat Agama sebagai suatu cara bila mana suatu fungsi khas dimainkan dalam situasi evolusi oner yang berubah terus menerus.
Tindakan adalah prilaku manusia yang mempunyai maksud subjektif bagi dirinya,artinya tindakan yang merupakan petunjuk pola piker yang bersangkutan.Tidak semua tindakan menusia dinyatakan sebagai tindakan sosial, suatu tindakan baru dikatakan tindakan sosial apabila arti subjeknya dihubungkan dengan individu-individu yang lain. Oleh sebab itu tindakan sosial merupakan kenyataan sosial yang paling mendasar, yang menyangkut komponen-komponen dasarnya yaitu tujuan, alat, kondisi,nilai dan norma (Agama), (Thomas F. O’Dea, 1995, 34:37).

B. IPTEK
Secara kasat mata kita tidak bisa menghidari akan kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi pada zaman sekarang ini, walaupun banyak telah kita ketahui masyarakat-masyarakat kecil yang menjadi korban dari adanya kemjuan iptek, dan dalam hal ini banyak anak-anak kecil yang ikut merasakan dampak tersebut, hal ini terbukti banyaknya bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di kota-kota besar, dan menelantarkan rasa kemanusiaan terhadap yang lain. Belum lagi alat-alat yang mereka gunakan serba mesin sehingga tenaga manusia seolah tidak dibutuhkan lagi.
Dewasa ini di negara berkembang khususnya di Indonesia sendiri para pemimpin membuat pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada penafsiran sejarah, sehingga tanpa mereka sadari telah menanamkan Statemen keyakinan dan nilai ideologi dalam arti menanamkan komitmen emosional. Sehingga mayarakat menderita anomi akibat dari situasi sistem nilai dan komunitas yang baru dan berbeda semua itu dilakukan oleh para pemimpin guna mencari massa dengan menanamkan ideologi yang bersifat sekuler (Majalah Tarbawi, 2004, 34:35).
Tidak heran jika dalam suatu Negara khususnya seperti keadaan masyarakat di Indonesia sendiri banyak sekali terjadi tindakan-tindakan yang anarki yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat keimanan yang sangat rendah, seperti halanya yang terjadi pada bapak-bapak wakil dari masyarakat sendiri yang dimana mereka seakan tidak mempunyai rasa malu sedikitpun dengan menggunakan uang Negara yang bersal dari masyarakat Indonesia sendiri yang mayoritas penghasillannya sangat minim. Seperti halnya yang terjadi pada kasus ICW yang mendesak pejabatnya untuk mengembalikan ONH ke DAU (dana abadi ummat), yang dalam hal ini para pejabat menunaikan ibadah Haji dengan memanfaatkan uang dana abadi umat yag dimana perbuatan ini sangat menyimpang dengan ajaran agama dan perbuatan tersebut tidak bisa ditelolir.
Perbuatan seperti ini sama halnya dengan melakukan tindakan korupsi walaupun ada sebagian dari pejabat Negara ini tidak mengetahui bahwa ongkos naik haji itu diambil dari DAU, namun meskipun mereka tidak sepenuhnya berslah mereka harus tetap mengembalikan dana yang telah mereka gunakan beserta fasilitas yang telah mereka gunakan sewaktu naik naik haji. Dari kasus ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam melaksakan pemerintahan pejabat-pejabat kurang teliti dalam melaksakan tugas mereka sehingga banyak terjadi kecurangan-kecurangan dimana-mana.
(kutipan Metropolis, 2005:2).
Kasus yang telah diuraikan diatas itu hanya sebagian dari kasus-kasus yang terjadi di Negara ini yang dimana semuanya dikarenakan oleh adanya kemajuan iptek yang tidak dibarengi dengan pendidikan agama sehingga seseorang dengan mudah melakukan suatu tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Dampak dari kamajuan iptek pada zaman modern sekarang ini banyak membuat orang selalu tidak berpikir panjang dalam melakukan suatu tindakan, terutama dalam hal Ekonomi. Telah kita ketahui banyak anak-anak muda menggunakan obat-obatan terlarang, minum-minuman keras, berjudi, bahkan membunuh sekalipun yang dimana semua itu semata-mata hanya untuk kesenangan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari.
Terkadang tidak jarang seorang wanita baik-baik melakukan suatu tindakan amoral guna mencapai suatu kedudukan yang tinggi, tanpa mengindahkan larangan agama. Dalam dunia modern saat ini agama seolah dianggap hanya sebagai status dari diri seseorang yang hanya berada dalam keterangan KTP, sedangkan ajaran-ajaran yang ada didalamnya hanya berfungsi sebagai pengusir setan atau jin agar tidak mengganggu, agama sama sekali tidak dianggap sebagai penuntu dan penerang pada jiwa manusi.
Semua itu terjadi dikarenakan ada sebagian orang beranggapan bahwa aturan agama hanya dapat mengekang, dan tidak dapat memberikan suatu kebebasan pada seseorang untuk melakukan suatu kegiatan guna mencapai suatu kesenangan hidup duniawi ( Abu Bakar, 1996, 97:98)
SARAN
Herdaknya agama dan iptek dapat saling melengkapi satu sama lainnya, hal itu dikarenakan dengan adanya perkembengan zaman yang menuntut manusia agar dapat lebih pintar dalam segala bidang, jika hal itu tidak mampu untuk dilakukan maka akan merasa terkucilkan dimata masyarakat, dan apabila seseorang jauh dari agama maka orang tersebut akan buta tidak tahu kemana arah hidup yang akan ia tujuan hal ini sesuai dengan kata pepatah yang mengatakan “ilmu tanpa agama akan buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan lumpuh”.

DAFTAR PUSTAKA

Koran Metropolos. Kamis, 23, Bandung, 2005
Abu Bakar. Islam dalam perspektif sosiologi agama, Rajawali, Semarang, 1996.
Yahya s.Praja. Struktur filsafat ilmu dan ilmu-ilmu islam, Pustaka, Bandung, 1992.
Majalah Tarbawi. Menuju kesalahan pribadi dan umat, Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004.
Thomas F. O’Dea, sosiologi agama, Raya Grafindo Persada, Jakarta, 1995.


KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulakan bahwa paranan agama dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini (iptek), sanagtlah penting hal itu dikarenakan segala sesuatu yang dilakukan dimuka bumi ini tidak bisa lepas dari peranan agama guna mebantasi garak manusia agar tidak berbuat apa yang ia sukai, tanpa memeperdulikan keadaan orang lain.
Dalam hal inipun iptek sangat berperanpenting guna membangun dan mengembangkan sumber daya manusi yang terlihat makin memburuk dimata internasinal, agar labih baik dan mampu bersaing dengan Negara-negara lainnya, namun kemajuan iptek sebdiri dilain pihak banyak membuat orang terjerumus dengan prilakunya sendiri, yang dengan tanpa sadar telah malakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya dengan melakukan sebuah perdagangan narkoba atau sejenisnya yang dimaksudkan akan mudah bersaing dan dianggap mampu menghidupi orang lain, dan tanps disadari telah merusak bangsa.
Selain itu dengan kemajuan iptek ini sendiri banyak sekali prusahaan-perusahaan yang lebih banyak menggunakan tenaga mesin dari pada tenaga manusia, sehingga menambah banyaknya pengangguran, dan melahirkan banyak terjadi kejahatan dimana-mana. Seperti adanya perampokan, pembunuhan,dan terjadinya korupsi. Hal itu dikarenakan kemajuan tersbut tidak dibarengi dangan bimbingan agama.

ALASAN
Setelah melihat fenomena yang terjadi pada saat ini ketika seseorang lebih mengedepankan iptek dari pada agama, hal itu menjadikan motifasi saya untuk menganbil judul ini, dengan kemajuan zaman seperti ini seseorang tidak lagi mementingkan kepetingan orang lain malaikan hanya untuk kepentingan diri pribadi dan kelompok, seperti halnya prilaku korupsi, dan penjualan obat-obat terlarang yang tanpa mereka sadari dapat menghancurkan diri sendiri orang lain, bangsa dan agama.
Sehingga mungkin dengan membuat judul seperti ini penulis dapat mengatahui pernan agama dalam kemajuan iptek akan seperti apa, jika kemajuan ini tidak dibarengi oleh agama.
Dari uraian diatas timbulah beberapa pertanyaan anatara lain:
1. Bagaiman fungsi agama di masyarakat dalam menghadapi kemajuan iptek?
2. Bagaimana dampak kemajuan iptek bagi masyarakat Kota maupun di Desa?
3. Apakah akibat dari kemajuan iptek jika tidak dibarengi dengan agama?

THE ORIGIN OF MOTIVES AND VALUES IN THE FAMILY STRUCTURE

CHARACTERISTIC OF THE SUPER EGO
J.C. FLUGEL
In its classical form four main elements or sources of the super ego can be Convenient1y distinguished. As their relationships make it difficult to consider them in entire independence of one another, We shall first indicated, the general nature of, these four elements and then return in the following chapters to deal with them in greater detail

(1) In an earlier paper of great importance in the history of psycho analytic though Freud had modified his first and provisional antithesis between libido or the sexual impulse on the one hand (it will be remembered that Freud used this concept in an exceptionally wide sense) and the vaguely conceived ego impulses upon the other. The modification. Consisted in asserting that not all of the libido was connected with primitive bodily satisfactions or directed on to outer objects, but that some portion of it was, or in the process of development came to be, directed to the self (conceived as an enduring bodily and mental whole). Thus, he maintained, we love ourselves in the same way that we love outer objects, and the portion of the libido so directed to ourselves could be conveniently referred to as the narcissistic libido. In the course of further development t his portion of the libido itself undergoes differentiation. A part remain directed to ourselves as we really are, or at least as we conceive ourselves to be, the "real self." But this "real self' does not permanently satisfy our narcissism; as we develop, we become all too painfully. Aware of its defects and limitations, physical, mental, and moral; and we compensate by building up in imagination a sort of ideal self, which We would like to attain, This is the Ego – ideal and to this another portion of our narcissistic libido (the so called "secondary narcissism") in turn becomes directed. It is as though we refused to stay contented with our real self as a love object, once its deficiencies become apparent, and set out to construct a better and more worthy object, but one that still has some recognizable resemblance to the self. This process of direction of the, narcissistic libido to the ego ideal is the first source from which the superego is derived.

(2) The second source is from the process of introjections or incorporation into ones own minded of fie precepts and moral. Attitudes of others, particularly of one's parents or of other persons in loco parents, in one's youth. As a result of this process, the attitudes of impressive persons in, one's early environment (and to some extent throughout life) become a permanent part of one's own mental structure, become "second nature," as the popular expression has it. Through this process, too, moral standards and conventions become handed on from one generation to another, thus giving permanence and stability; to the codes and traditions of society.

(3) The Super ego is, as we have already noted, no direct copy of the moral standards of the community, particular, it is apt to be in many respect more severe. This greater severity if virtue of which the super ego often seems to behave aggressive and cruelly towards the ego, is traceable to various causes. But in particular it is due to recoil against the self of aggression aroused by frustrating object in the outer world. The wishes of the young child are frequently and inevitably frustrated¬ and frustrations of our desires, as all psychologists agree, tend naturally to arouse anger and aggression (the biological purpose of which is no doubt to overcome or remove the: obstacles to our desire). But in the young child aggression is very likely to be unsuccessful: first because he is too weak, and secondly because (as he learns a little later) the very persons against whom his aggression is aroused, his parents or others who are tending him, are also persons whom he loves and on whom he is dependent if he expresses his aggression too freely they punish him, and withdraw their help, love, and approval. Indeed it is man's unique and inevitable tragedy (due to his long period of helpless infancy) that he is compelled to hate those whom also hi most loves a condition which, is to some extent continued throughout life’ in his relations with his own super ego which is a centre to which both love and hate are directed and from which both love and hate emanate. But this will become clearer as we proceed. For the m moment we are. only concerned with the young child who cannot express his aggression towards its natural objects, the' frustrating parents. What is he to do with it? He cannot bang the door, kick the cat, behave rudely to some third person, or use any of the other numerous methods of discharge, which will be available to him in later life. But he always has himself as a possible object for his anger; and it was one of the remarkable discoveries of psycho analysis that, among the various lilies of displacement along which an impulse can be re directed. Turning inwards or turning against the self occupies an important place. This is what appears to happen in the present case. But the precise form in which the turning against the self here occurs (i.e., that it adds to the forces of the super ego) is probably determined to a large extent by the occurrence, at or about the same 'period, of the process of introjection to which we have just referred. The outside, forbidding, commanding persons (the parents) are introjected, i.e., are incorporated in the self in the form of the superego, and at the same time the child's aggression against these very persons is also turned against the self. Under these circumstances it seems as though the two processes tend to fuse, with the result that the inward recoiling aggression also becomes attached to the super ego. 17he superego, which represents the internalized, forbidding parents, is already endowed with the aggression naturally attributed to them as frustrating agents. It is now reinforced by the child's own aggression; and in this .way (among others) it becomes more stern, cruel, and aggressive than the actual parents

(4) The fourth source or element is more uncertain and controversial than the other three. The fierce aggressiveness with which the super ego can behave to the ego naturally suggests the co operation of another fundamental human, tendency the tendency to take pleasure in the exercise of mastery and in the infliction of pain for their own sake, over and above such domination and cruelty, as may be the inevitable accom¬paniments of aggression. The true nature of &.is sadomasochistic tendency, as it is generally called, presents a sinister puzzle to physiologist. In many of its manifestations it has an unmistakably sexual coloring. Indeed, sadism and masochism are among the best-recognized and most important sexual "perversions"; and Freud, in his conception of the libido as made up of a number of originally more or less independent "component instincts," gave both sadism and masochism a place among these instincts. It was clear, however, that in some respects they presented special prob¬lems and were different from most of the other component instincts: first in that they had no particular connection with any organ or part of the body, such as the mouth, the anus, the nose, the eye, the genitals, and secondly in the altogether peculiar way in which they combined the usually distinct and contradictory attitudes: to pleasure and pain. Later, when Freud divided the fundamental human drives into two classes, Eros and Thanatos, the life and death instincts respectively; he supposed that sadism and masochism arose from fusions of these two. McDougall had Likewise sought to explain their compound nature as fusions of sex and self assertion in the case of sadism, of sex and submission in the case of Masochism.

But, however they are constituted, there can be no doubt that, in the infliction of external punishment, sadism and perhaps to a Lesser extent, masochism play a part. It is pretty freely admitted that before. the introduction of "modern. "Enlightened," or "humanitarian" methods the profession of teacher (as to some extent all roles of authority) presented considerable opportunities for sadistic, punishment, while there is also good evidence that the pupil sometimes experienced a sexually tinged pleasure while being punished. But punishment is (or at least professes to be) itself a moral institution; and it is exercised by just such impressive authoritarian figures often indeed standing more or less officially in loco parents as those whose percepts and attitudes we interjects to form our super ego. It would not be altogether surprising then if the sadism of these authorities and the sadomasochistic relation in' which we stand to them in our external life were mirrored in the relation between the super ego and the ego in our internal life; and the element of cruelty so often actually found in the super ego seems to, support the view that the sadism of moral author ides is liable to be interjected along with other characteristic attitudes. As we shall see later, punishesment as a social or educational institution, also find an echo in the purely psychological sphere and Freud went so far as to speak of the “need for punishment,” some times experienced by the ego. The super ego indeed often takes over not only the admonishing prohibiting, and commanding functions, but also the punishing func¬tions of the external authority. To the sadism of the super ego there would then correspond masochism of the ego the roles being distributed be¬tween different aspects or (as Freud is fond of saying) "institutions" of the mind, instead of between different persons, as in the external world.
It is pretty clear that in many cases this approximates to a true description: the person concerned does seem to inflict suffering on himself and to enjoy both the process of infliction and the actual suffering. (Perhaps we can get a clearer idea of this situation if we imagine ourselves suffering from some pimple, boil, or other sore spot on our body and constantly touching this spot, although we know that it will hurt; in these. circumstances we sometimes seem to relish both the process of inflicting pain the touching, and the pain itself.) But difficulties of interpretation are apt to arise in those numerous cases when this fact of enjoyment is very hard to demonstrate. In so far as enjoyment in general, and sexually tinged enjoyment in particular, are lacking, the boundary between sadomasochism and simple aggression (our third factor) becomes obscured. With these Cases in mind, Freud was driven to distinguish a moral masochism” from the definitely sexual variety that he had in view when he classified masochism as a "Component instinct." Such "moral masochism" appears to have been short of its erotic elements, and indeed is perhaps only a manifestation of Thanatos, the death instinct or as others, suspicious of such somewhat mystic notions, might prefer to think, is just plain aggression turned against the self. It was in view of these difficulties, and of the fact that comparatively little progress has been made in our understanding of the sadomasochistic components of the super ego, that we were induced to say that this fourth element is more uncertain and controversial than the others. Nevertheless, the role of sadomasochism in external morality is often so plain, the correspondence between the external and the internal roles of punishment often so close, and the relation of sadomasochism to general aggression so far from clear, that it would be rash to deny to sadomasochistic tendencies a significant part in the nature and function of the super ego.

AGGRESSIVE ASPECTS OF THE SUPER EGO NEMESISM

Some Variety; and Example
In the last three chapters we have been dealing chiefly with the first two of the four factors, which we distinguished in the super ego, i.e., with the: creation, and influence of an ideal and with the introjection of external moral authorities. We must now turn to the, consideration of the third and fourth factors, i.e., those aspect of the super ego in which aggression predominates. Here as elsewhere, however, as the reader has been warned, it is hardly possible to maintain consistently our somewhat artificial division, and it will be found that in pursuit of our present aim we shall also be able to throw some further light upon other aspects of the super ego, including those connected with its origin and early development. At the same time, in turning to these aggressive elements, we shall become aware of certain correlative changes which the super ego appears to undergo when we look at it from t1iis new point of view. These changes may, be noted briefly at once, though their full nature and implications will, it is hoped, become clearer as we proceed. In the first place, of course, is the element of harshness or cruelty itself. Whereas in the elements we have been considering the super ego appeared to operate largely (though of course by no means exclusively) by holding before u I s a moral ideal, failure to attain which: arouses shame and guilt, the aspects with which we are now concerned rely on punishment and goading rather than on exhorta¬tion and appeal. Secondly, these new aspects are more negative and restrictive in character; they are concerned with prohibitions rather than with positive goals or ideals. In virtue of this they offer little inducement to the expansion of the ego or the development of its powers by way of sublimation or other wise. In the third place, the relations between the ego and these, aspects of the super ego are characterized by hate rather than by love; this part of the super ego corresponds to the child’s picture of the parent as a harsh 'forbidding, terrifying, and punishing being rather than as a loving, helping, and Protecting one.’ The parent, in virtue of these aspects, is no high perhaps unattainably high copy for imitation" (to use Baldwin's term), but rather a cruel, sadistic taskmaster and tyrant, who seems to take delight in placing taboos on many potentials sources of joy and satisfaction and in inflicting punishment at the slightest hint that these taboos may be infringed. Fourthly and lastly, these aspects of the super ego are more characteristically and completely unconscious in their operation. In place of art ideal of which we are at any rate in some degree aware, there arc restrictions and inhibitions, of the meaning and source of which we have often little, if any, understanding, and in the place of more or less conscious feelings of guilt for moral failures which we realize, punishment is often inflicted on us for crimes we do not recognize by a force of which we have little comprehension. Corresponding to this greater unconsciousness there is also a lesser capacity to undergo modification in the light of experience, so that this part of the super ego is liable to remain particularly archaic, un adaptable, and out of touch with, adult reality.
The differences that we have noted are of course only differences of degree and of general tendency, and it would be an easy matter to point to individual instances that seem to belie them; nevertheless, if we attempt to draw distinctions of a general kind between the aspects of the super ego with which we have been dealing and those which we are now about to consider, we believe that the distinctions will be of the kind indicated.
In the last three chapters we have of course already had occasion to deal pretty often with aggression. But this aggression had an external source in the behavior of the parents or other moral authorities, and it only became internalized and attached to the super ego as a result of the introjections. of these external authorities. The aggression with which we are now concerned has a different origin; it springs from the persons own anger and revolt against the frustrating parent figures. As we have already indicated, the arousal of such aggression is inevitable, inasmuch as parents are bound to frustrate their children in some degree, and it is likewise inevitable that a child's aggression cannot be fully and freely expressed, and this for two reasons: because the child is too weak to stand up to the opposition: of the parents, and because at the same time it loves them and is dependent on them. Unable therefore to direct this aggression against its natural object, the child must deal with it in some way: by repression, displacement, or by turning it against himself. in the very young child the capacities for both repression and displacement are probably less than at P later age; there is therefore a special likelihood of recourse being made to the re¬maining alternative. But throughout life there is a tendency for frustrated or inhibited aggression to recoil against the would be aggressor a fact well recognized by Marlowe when, in the parade of the Seven Deadly Sins before Dr. Faustus, he makes Wrath say: "I have run up and down the world with this case of rapiers, wounding myself when I had nobody to fight withal." This tendency would seem to be of such fundamental importance as to merit a special name by which it can conveniently be designated. we propose here to adopt Rosenzweig's suggestion and to use the term "nemesis" as an alternative and technical term for "aggression turned against the self." Such a term has the advantage of being easily compared and contrasted with the already familiar "narcissism," which designates the comparable process of love directed to the self.
The tendency, however, in spite of its importance, has, at any rate until quite recently, received but little notice from psychologists. Other than psychoanalysts, so that it is perhaps worthwhile to familiarize our¬ selves with it by means of a few simple examples. We may begin with some, which illustrate the common case (particularly important for us here) where a person's aggression against himself takes the form factually reinforcing the opposition or frustration due to a parent. Since in such cases the parents commands and the child's aggression manifest them selves in the same direction, it is a rather easy for the existence of the second factor to be overlooked, but when we study the child's behavior from the quantitative rather than the qualitative point of view we see that it exhibits a certain characteristic exaggeration or over intensification which dis-tinguishes it from the conduct that would result from a simple copying or introjections of the Parents' attitude; in other words, there is over obedience rather than a simple straightforward compliance.
The other day I was watching a mother feed her little girl of two. the child resisted the soup that was being offered her in a spoon and endeavored to push away the mother's hand with considerable show of force and displeasure. After a while, however, the mother still persisting, the child suddenly altered her behavior, seized the spoon herself and, without changing in any other way her combative expression, pushed it into her own mouth with 4ulte unnecessary violence and poured the con¬tents down ' her throat. There occurred indeed a quite unmistakable reversal in the direction of the child's aggression; from being directed against the mother, it was tamed against the child's own self, in a way that fulfilled the mothers wishes, but with a kind of savage energy that was quite foreign to the mother's attitude. Here there was no mere copying of the mother, no simple adoption of her role, but an addition to it of a new element derived from the child's own aggressiveness, suddenly directed against herself instead of against the outer world. In this little incident we see an example of the way in which the nemesis tic element of autogenously aggression complicates and distorts the picture that would result from mere adoption and introjections of the parents' moral attitude

WAWASAN PSIKOLOGI ISLAMI

A. Psikologi Islami Sebuah Nama
Berlainan dengan sikap skeptis terhadap nama yang tercermin dalam sebuah pertanyaan termasyhur “What’s in a name” Dalam salah satu drama klasik shekes pear, Hellen Keller seorang cendikiawati penyandang cacat ganda, tunanetra, tunarungu dan tunawicara, mengalami sendiri betapa pentingnya nama. Dalam “Everything has a name” Ia menulis betapa cakrawala pemikirannya menjadi terbuka luas saat menyadari bahwa segala sesuatu ada namanya.
Islam pun memandang nama sangat penting. Nama identik dengan terminology, dan terminology Ekuivalen dengan konsep, sedangkan kondep merupakan produk penting dari akal budi manusia. Melalui sebuah nema sering kita mendapat gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan siapa yang diberi nama itu. Pemberi nama berarti memberi identitas yang manandakan eksisnya sesuatu. Dengan demikian “ What’s in a name?” sebagai sub-judul tulisan ini sama sekali tidak skeptis terhadap Psikologi Islami, tetapi merukan ajakan serius untuk bersama-sama memikirkan unsur-unsur penting yang menjadi pilar Psikologi Islami.
PSIKOLOGI ISLAM. Dengan menunjang nama ini diharapkan secara langsung trgambar karakteristik dan identitasnta yang semuanya bermuara pada nialai-nilai Islami. Dan sebagai wadah yang masih menanti kelngkapan isi, rasa-rasanya nama itu lebih luwes dan luas ketimbang nama-nama lain untuk sebuah gerakan islamisasi psikologi yang saat ini yang memerlukan kesepakatan lebih lanjut dari para psikolog muslim mengenai wawasan, landasan, rumusan, ruang lingkup, fungsi, tujuan dan metodeloginya.
B.Psikologi Islami Wawasan dan landasan
Dalam QS. Al-fushshilat (41) ayat 53 berfirman Allah SWT:
Kami akan memperlibatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di sebenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al- qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu itu cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
Dari firman Rabbani itu tersirat ada tiga ragam ayat Tuhan sebagai tanda keagunganNya yakni:
a. Ayat-ayat Qur’ani: diwahyukan dalam bahasa manusia kepada Rasul (Muhammad SAW), kemudian dituliskan dan dihimpun berupa kitab suci (al-Qur’an Karim).
b. Ayat-ayat Aafaaqi: ketentuan Tuhan yang ada dan bekerja pada alam semesta, khususnya alam fisik.
c. Ayat-ayat Nafsani: ketentuan Tuhan yang ada dan bekerja pada diri manusia, termasuk kejiwaanya.
Ayat-ayat aafaaqi dan ayat-ayat nafsani lazim disebut sunatullah, yakni ayat-ayat Tuhan yang “tertulis” dalam semesta ciptaanNya dan berproses di dalamnya berupa The law of nature atau Hukum Alam (H ukum Allah).
Dalam hal ini psikologi harus dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsani), dalam artian menemukan berbagai asas, unsure, proses, fungsi dan hokum-hukum mengenai kejiwaan manusia.
Berbeda dengan psikologi kontemporer-sekuler yang dapat dikatakan menggunakan semata-mata kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapkan asas-asas kejiwaan, psikologi islami mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus, yakni menggunakan secara optimal daya nalar yang obyektif-ilmiah dengan metodologi yang tepat, di samping merujuk pada petunjukNya mengenai manusia yang tertera dalam al-Qur’an Maha benar dan al Hadits yang absah serta pandangan para ulam yang teruji. Dengan demikian landasan psikologi Islami adalah ayat-ayat Qur’ani dan ayat-ayat nafsani yang dukung mendukung asas-asas keagamaan dan temuan-temuan iptek di bidang kemanusiaan.
Psikologi Islami adalah psikologi, dan ia adalah sains yang mempunyai persyratan-persyaratan ketat, sebagai sains. Scientific merupakan cirri utama psikologi Islami, karena ia adalah Science, dalam psikologi Islami sama sekali tidak ada pencampurbauran antara psikologi dengan agama atau produksian fenomena keagamaan menjadi semata-mata proses psikologi.

B. Tujuan dan fungsi-fungsinya
Ilmu pengetahuan secara sains mempunyai tiga fungsi utama yaitu:
1. Fungsi pemadaman (understanding), memahami seperti apa adanya dan dapat memberikan penjelasan yang benar, masuk akal dan islamiah mengenai berbagai gejala alam dan peristiwa yang berkaitan denga kehidupan manusia,eksistensi dan relasi antar manusia.
2. Fungsi pengendalian (control) memberi arah yang tepat-guna dan berhasil-guna untuk berbagai kegiatan manusia, serta memanfaatkan temuan-temuan ilmiah secara benar untuk meningkatkan kesejahtraan hidup manusia dan pengembangan ilmu dan teknologi. Di samping itu mencegah panyalah gunaan asas-asas dan temuan-temuan sains dan salah menggunakan penerapan teknologi, serta turut menanggulangi kerugian-kerugian yang ditimbulkannya.
3. Fungsi peramalan (prediction) memberi gambaran mengenai kondisi kehidupan di masa mendatang serta memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada priode waktu tertentu. Peramalan tentang keadaan mendatang diperoleh berdasarkan data akurat yang tersedia waktu ini yang diolah melalui metodelogi dan prosedur ilmiah.
Ketiga fungsi tersebut berlaku sepenuhnya bagi psikologi, ia diharapkan dapat menerangkan berbgai gejala prilaku manusia dan corak prilaku manusia serta kehidupannya,disamping dapat memanfaatkan hasil-hasil temuan psikologi untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesejahtraan hidup manusia, serta mencagah adanya malpraktek dan mengatasi efek-efek negatif.
Disamping itu pada dasarnya tujuan psikologi dapat menunjang tujuan utama psikologi, dalam perkembangan kondisi kesehatan mental pada diri pribadi dan masyarakat, yang tolak ukurnya mencakup sebagai berikut:
 Bebas dari gangguan dan penyakit kejiwaan
 Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya
 dapat merealisasikan berbagai potensi, seperti kemampuan,bakat, sikap, sifat, keterampilan dan lingkungan menjadi benar-benar aktuan dan bermanfaat.
Psikologi sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islami, dan pengembangannya ada pada tahap awal, maka psikologi Islami sekurang-kurangnya perlu menambah dengan dua fungsi lainnya, yaitu: fungsi pengembangandan fungsi pendidikan.
a. Fungsi pengembangan (development)
psikologi Islami, menyusun tiori-tiori baru, menyempurnakan metodelogi dan menciptakan secara kreatif berbagai tehnik dan berbagai pendekatan psikologis.Salah satu usaha psikologi dalam pengembangan ilmu adalah dengan melakukan pembandingan (komparasi) antara psikologi modern dengan tema-tema dengan kemanusiaan yang dijabarkan dari al-Qur’an, al-Hadist dan pandangan para ulama.
Selain itu perkembangan psikologi Islami dapat diusahaka melalui penelitian empiris yang berkaitan dengan kehidupan kebaragamaan atau penelitian tentang praktek ibadah yang buktinya dapat terbukti dalam kaimanan dan ketakwaan seseorang, psikologi ini sering dilakukan oleh psikologi Transpersonal dalam meneliti potensi luhur manusia.
b. Fungsi pendidikan (education)
Hakekat pendidika adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, misalnya dari keadaan tidak tahu manjadi tahu, dari baik menjadi baik. Dalam melaksanakan fungsi pendidikan ini disarankan agar psikologi Islami menjabarkan dan memaparkan prinsip pengubahan prinsip manusia seperti yang tercantum dalam Q.S al-Ra’d (13) ayat11
Tujuan dari psikologi Islami itu sendiri memiliki misi utama, yang bukan hanya untuk mmengembangkan kesehatan mental pada diri pribadi dan masyarakat, melainkan juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Denagn demikian tujuan psikologi Islami adalah membantu orang-orang manjadi sehat mentalnya dan sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya, menjadi mukmin dan muttaqin.
Jangkauan psikologi Islami lebih luas, antara lain dalam fungsi dan tujuan serta ruanglingkupnya. Kalau fungsi psikologi umunya hanya berkisar sektar pemahaman, pengendalian, dan peramalan, psikologi Islami manambahnaya dengan fungsi pengembangan ilmu dan pendidikan. Selain itu tujuan psikologi untuk pengambangan mental yang sehat pada diri pribadi dan masyarakat, dilengkapi psikologi Islami dengan inti kesehatan mental dan iman takwa kepada Tuhan.

TUJUAN.
 Untuk mengetahui wawasan dan landasan psikologi
 Untuk mengtahui dan fungsi-fungsi psikologi
 Dapat mengetahui Ruang lingkup psikologi
 Untuk mengetahui metode ilmiah yang ada pada psikologi.

DAFTAR PUSTAKA.
 Hanna Djumhana Bataman, Integrasi psikologi dengan Islam, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2001.
 Al-Ghazali, Dimensi psikologi dari ajaran Al-Ghazali mengenai manusia, Pramadina, Jakarta, 1994
 Jurnal ulumul Qur’an, Corak Filosofis psikologi Islam, 1993.