Sunday, August 9, 2009

Pemberontakan yang Terbelenggu; Sebuah Refleksi Dari Novel Belenggu Karya Armijn Pane

“kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”
Begitulah Armijn Pane, seorang pengarang dengan pendirian yang kokoh. Ungkapan yang ia lontarkan seperti yang tertulis diatas, merupakan sebuah tekad, bagaimana ia ingin bertahan dan menikmati kehidupan dalam kesusastraan. Walaupun, karyanya sempat ditolak oleh penerbit Balai Pustaka, dikarenakan disinyalir telah merusak tatanan moral.
Apakah gerangan karyanya itu? Karya yang ditolak oleh Balai Pustaka, merupakan rangkuman dari realita sosial dalam sebuah kehidupan di rumah tangga. Karya novel yang berjudul “Belenggu” itu, memaparkan kehidupan para tokohnya yang masing-masing terbelenggu oleh ke-egoisannya sendiri, sehingga tidak memunculkan sebuah kebahagiaan. Padahal, pada tiap-tiap Ijab Qabul, sering terlontar, bahwa setiap pasangan harus hidup rukun demi menciptakan kehidupan yang mawaddah dan warohmah.
Sikap seorang Sukartono yang digambarkan oleh Armijn Pane, memang sukar dimengerti. Sukartono merupakan seorang dokter yang peduli terhadap kondisi pasien-pasiennya. Setiap hari, siang maupun malam, Sukartono selalu sibuk dengan pasiennya itu. Sehingga Tini, seorang wanita yang berparas ayu, cantik pun dilupakannya. Tini merasa, Tono egois. Betapa tidak, Tono menikahi Tini, tidak dengan dasar cinta, tetapi Tono menganggap bahwa Tini, pantas untuk menjadi istrinya. Begitu pula dengan Tini, yang menikah dengan Tono hanya sekedar ingin melupakan masa lalunya.
Pertengkaran di dalam rumah tangga memang merupakan sesuatu yang lumrah. Ada orang yang berpendapat bahwa, konflik dalam rumah itu, seperti bumbu penyedap rasa dalam mie-mie instan. Namun, konflik yang terjadi antara Tono dan Tini bukan lagi bagian dari penyedap rasa itu, tetapi sudah mengarah pada konflik yang sebenarnya dan semakin meluas—hal-hal kecil saja, dapat mengundang konflik itu membara, seperti api dalam sekam. Dan, kesemuanya itu merupakan rentetan konflik yang bermuara pada satu kata, egois. Tono dan Tini sama-sama egois.
Konflik antara Tono dan Tini diperparah dengan hadirnya tokoh ketiga, Rohaya. Rohaya merupakan teman Tono pada waktu masih di Sekolah Rakyat dulu. Rohaya, diam-diam memendam rasa cintanya terhadap Tono, sehingga rela meninggalkan kampungnya pergi ke Jakarta. Rohaya, pun juga merupakan korban dari sebuah perasaan yang tergadai. Persis seperti Tono dan Tini. Rohaya, tidak rela dipaksa kawin sehingga pergi ke jakarta. Namun tragisnya, Rohaya di Jakarta, malah menjadi seorang wanita panggilan yang selalu kesepian. Ketika tahu keberadaan Tono, Rohaya segera menghubunginya. Berpura-pura menjadi orang sakit, dan mengelabui Tono sehingga Tono pun masuk perangkap. Bergegas Tono pergi ke hotel dimana Rohaya berada. Godaan Rohaya yang bertubi-tubi, tidak tertahankan oleh Tono, dan mereka berdua pun menjalin hubungan tanpa diketahui oleh Tini.
Dimana pun kita menyimpan bangkai, pasti akan ketahuan juga. Tini mencurigai keberadaan suaminya. Kecurigaannya itu terbukti, dan seperti istri-istri kebanyakan Tini pun merasa sakit hati dan marah pada Tono dan juga Rohaya. Tanpa sepengetahuan Tono, Tini pergi ke hotel tempat Rohaya bersemayam. Tini berencana mendamprat wanita itu, karena telah merebut suaminya. Namun, tujuan itu urung ia laksanakan. Sesampainya di hotel, Tini disambut ramah oleh Rohaya. Kelembutan dan keramahan Rohaya membuat Tini tersadar, dan mengerti mengapa suaminya berselingkuh dengan Rohaya. Sepulangnya dari hotel, tidak henti-hentinya Tini menyalahkan dirinya sendiri. Kebenciannya terhadap Rohaya lenyap. Tini merasa malu dan merasa bersalah pada Tono suaminya. Ia merasa gagal menjadi istri yang baik buat Tono. . Akhirnya, Tini memutuskan untuk berpisah dengan Tono. Awalnya Tono tidak mengharapkan terjadinya perceraian diantara mereka. Tono-pun merasa telah gagal menjadi suami yang baik, ia-pun minta maaf pada Tini. Namun, keputusan Tini sudah bulat, dan perceraian itu tidak dapat dihindarkan. Tono sangat sedih bercerai dengan Tini, ditambah lagi, ternyata Rohaya juga pergi. Ia meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan bahwa ia mencintai Tono. Rohaya juga mengatakan bahwa ia juga meninggalkan tanah air untuk selama-lamanya. Tono masih sedih dalam kesendiriannya, sementara Tini pergi ke Surabaya dan mengabdikan diri pada sebuah panti asuhan yatim piatu.
Karya yang memberontak Dari membaca novel Armijn Pane ini, kita pun jadi mengerti mengapa Balai Pustaka pernah menolak karyanya ini. Sebab, karya ini, pada zaman ketika itu, merupakan sebuah bahasan yang masih tabu, karena menyangkut kehidupan pribadi dalam sebuah rumah tangga. Tetapi, kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin (1954:67—70) mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.
Taufik Rahzen dalam artikelnya di http://www.indexpress.net, mengatakan bahwa Belenggu merupakan novel yang mencerminkan sebuah ketegangan kebudayaan. Gayanya bertutur yang impresionistik mengesankan betapa Armijn menghargai benar alam raya sebagai mata air inspirasi dan imajinasi. Tapi caranya mengisahkan perselingkuhan tokoh Sokartono tanpa memberi penilaian moral, seraya tetap fokus memaparkan arus kesadaran serta gejolak batin para tokoh novelnya, sama dinginnya seperti D. H. Lawrence mengisahkan perselingkuhan Lady Chatterley dalam Lady Chatterley’s Lover atau seperti Gustave Flaubert sewaktu menggambarkan perselingkuhan Emma Bovary dalam Madame Bovary. Lanjutnya, Belenggu, seperti juga dua novel asing itu, pernah dicaci sebagai karya yang merusak tatanan moral, tapi kemudian diakui sebagai karya yang jujur mewartakan kenyataan moral yang pahit, dan ditahbiskan sebagai salah satu kanon sastra di negerinya masing-masing.
Setiap orang atau bangsa punya “belenggu”-nya masing-masing. Segala yang silam, apakah itu masa kecil berikut sejumlah luka-lukanya, adalah salah satu sumber anyaman kompleks identitas, sekaligus bisa pula menjadi beban yang membelenggu. Segala yang silam itu akan berbenturan dengan “yang kini” (realitas) dan “yang kelak datang” (saujana ihwal masa depan). Semuanya teranyam sedemikian rupa, jalin-menjalin membentuk apa yang disebut kepribadian, individu, perwatakan dan tentu saja identitas.
Masa silam berikut artefak warisannya adalah salah satu ilham penciptaan kebudayaan, seperti juga menjadi hulu dari sebagian identitas. Jika ini dimengerti dengan baik, masa silam, kendati akan memancing ketegangan seperti yang dialami Armijn dan solilokui (dialog dengan diri sendiri), tak akan pernah menjadi “belenggu”.
Belenggu sendiri merupakan sebuah pemberontakan dari apa yang dianggap tabu padahal itu kenyataan realitas sosial. Selain realita yang terjadi dalam rumah tangga, juga realita yang berkembang di jalanan. Hadirnya wanita-wanita panggilan di kota besar, seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai sesuatu yang salah. Namun, lebih daripada itu, yaitu memikirkan bagaimana jalan keluarnya—solusinya. Wanita-wanita panggilan, memang selalu jadi kambing hitam pada hampir setiap persoalan rumah tangga. Dan, juga yang selalu disalahkan selanjutnya mengapa terjadi perselingkuhan adalah lelaki.
Di dalam persoalan tiga tokoh; Tono, Tini dan Rohaya, ketiganya tercipta dari sebuah korban perasaan—korban hati. Perselingkuhan yang dilakukan Tono, karena Tini, tidak acuh terhadap Tono. Sementara, jika kita runut lagi, Tono pun menunjukkan sikap yang tidak acuh kepada Tini. Sibuk dengan pasien-pasiennya, sehingga Tini pun merasa kesepian. Hadirnya Rohaya, yang menyimpan perasaan cinta terhadap Tono, menjadi polemik tersendiri dalam rumah tangga Tono dan Tini. Seluruh peristiwa yang tampil, lebih disebabkan karena pencitraan pertama yang diberikan oleh Armijn Pane kepada tokoh-tokoh itu. Sehingga, jalan keluar dari masalah itu, perceraian idak dapat dihindarkan. Namun masalahnya, mengapa Rohaya pun pergi meninggalkan Tono? Bukankah ia mencintai Tono? Mungkin, jawaban yang paling dekat kepada masalah itu ialah karena Rohaya, tidak mau mengganggu hubungan Tono dengan Tini sehingga Rohaya merasa harus pergi jauh dari kehidupan Tono.
Memang, sebuah novel yang menarik. Walaupun termasuk novel lawas, namun realita yang dibahasakan dalam novel itu masih relevan dan banyak bukti kongkrit yang sudah terjadi. Terlebih lagi, pada zaman kekinian hal yang digambarkan oleh Armijn Pane, dikuatkan dengan adanya sinetron-sinetron yang menampilkan konflik keluarga seperti yang terjadi pada Tono dan Tini—cinta segitiga. Apalagi, melihat pada pola hidup artis, yang sering gonta-ganti pasangan. Maka, marilah kita lepaskan belenggu yang ada dalam dada kita, agar kehidupan bisa berjalan lebih baik.

No comments:

Post a Comment